Amal Ikhlas
Gak berbekas...
Dahulu kala di Madinah, orang – orang fakir dan miskin pada waktu pagi sering mendapati gandum didepan pintu – pintu rumah mereka.
Mereka tak pernah tahu siapa yang meletakkan gandum – gandum tersebut pada malam harinya. Hal ini berlangsung selama beberapa waktu, sampai akhirnya sedekah misterius tidak pernah nongol lagi.
Pada saat yang bersamaan, Ali bin Husain Zainal Abidin –cicit- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia.
Tatkala orang – orang memandikan jenazahnya, maka terlihat bekas menghitam di punggungnya. Mereka lantas bertanya, “Apakah ini ?”, sebagian mereka menjawab, “Beliau biasa memanggul karung gandum di waktu malam untuk dibagikan kepada orang – orang fakir dan miskin di Madinah”. Ternyata beliau-lah yang selama ini yang selalu membagikan gandum kepada para fakir miskin di Madinah. Masyarakat madinah berkata, “Kami selalu mendapatkan sedekah misterius hingga meninggalnya Ali bin Al Husain”.
Itulah salah seorang salaf yang berusaha beramal secara sembunyi – sembunyi untuk menjaga kemurnian amalnya, sehingga tiada hati yang bangga karena amalnya dilihat orang. Subhanallah !
Karena amalannya hanyalah untuk mengharap ridha Allah Subhanahu wa ta’ala semata. Manusia yang menyadari siapa dirinya tentu berusaha memenuhi hak – hak Penciptanya. Selain agar ia selamat sejahtera di dunia dan akhirat, ibadah itu sendiri adalah tujuan penciptaan dirinya. Ibadah yang berguna hanyalah ibadah yang ditujukan hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala semata, tidak kepada yang lainnya. Dalam beramal, itu merupakan salah satu syarat diterimanya ibadah tersebut...itulah ikhlas.
Hanya untuk Allah Subhanahu wa ta’ala semata
Ikhlas, mudah diucapkan, susah dilaksanakan...karena harus meniadakan sesembahan selain Allah juga meniadakan unsure lain lain yang dicari selain Allah Subhanahu wa ta’ala, baik itu harta dunia ataupun popularitas. Allah telah berfirman di dalam kitab-Nya yang artinya,
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” ( Al Bayyinah : 5 )
Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, yang artinya :
Allah berfirman, “Aku adalah yang paling tidak membutuhkan persekutuan dari sekutu – sekutu yang ada. Barangsiapa mengerjakan suatu amal, yang didalamnya ia menyekutukan selain-Ku, maka dia menjadi milik yang dia sekutukan tersebut dan Aku berlepas diri darinya.” ( HR. Muslim )
Banyak definisi tentang ikhlas ini. Ada yang berpendapat, ikhlas itu menunggalkan Allah dalam tujuan ketaatannya. Sebagian mengatakan bahwa ikhlas adalah membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk. Dan yang lain bilang, ikhlas adalah menjaga amal dari perhatian manusia, termasuk pula diri sendiri. Perbedaannya hanya sebatas dalam kata – kata, tetapi maksudnya sama.
Inilah substansi kalimat “La ilaha ilallah”, tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata.
Meniti derajat keikhlasan
Imam Al-Harawi mengatakan bahwa derajat pertama dari keikhlasan adalah tidak melihat amal sebagai amal, tidak mencari imbalan amal dan tidak puas terhadap amal.
Seorang hamba harus menutup mata terhadap amalnya jika ia mau merendah diri dan bersaksi bahwa amal itu datang atau bisa dikerjakannya karena karunia dan taufiq dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Amal itu datang tidaklah dari dirinya semata, ada kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala dibalik amal – amal tersebut dan sekali lagi bukan dari dirinya semata. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya,
”Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” ( At Takwir : 29 )...la hawla walaquwwata illah billah !
Derajat kedua dari keikhlasan adalah menyadari dan malu terhadap segala kekurangan amalnya sendiri sambil tetap berusaha, berusah sekuat tenaga membenahi amal dengan tetap menjaga kesaksian dan memelihara cahaya taufiq yang dipancarkan Allah Subhanahu wa ta’ala. Hamba yang merasa malu kepada Allah Subhanahu wa ta’ala karena amalnya, karena dia selalu merasa amal itu belum layak dipersembahkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, tetapi amal itu tetap diupayakan. Sedangkan memelihara cahaya taufiq yang dipancarkan Allah Subhanahu wa ta’ala adalah bahwa dengan cahaya itu kita bisa tahu bahwa amal kita semata karena karunia dari Allah Subhanahu wa ta’ala, dan bukan kerna diri kita sendiri semata.
Masih menurut Al Imam Al Harawi, derajat ketiga dari keikhlasan adalah memurnikan amal dengan memurnikannya dari amal, yakni membiarkan amal berlalu berdasarkan ilmu, tunduk kepada hukum kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala dan membebaskannya dari sentuhan symbol – symbol. Memurnikan amal dengan memurnikannya dari amal ditafsiri dengan kalimat berikutnya, yakni membiarkan amal itu berlalu berdasarkan ilmu dan tunduk kepada hukum Iradah Allah Subhanahu wa ta’ala. Artinya adalah seorang hamba hendaknya beramal berdasarkan dua perkara.
Pertama, perintah dan larangan.Yang berkaitan dengan apa yang harus dikerjakannya dan ditinggalkannya.
Kedua, qadha dan qadar yang berkaitan dengan iman, kesaksian dan hakikat. Dengan begitu, hamba bisa melihat hakikat dan bertindak berdasarkan syari’at.
Dua perkara inilah, penghambaan yang dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya yang artinya,
”Al-Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, yaitu bagi siapa diantara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” ( At Takwir : 28 - 29 )
Membiarkan amal berlalu berdasarkan ilmu merupakan kesaksian firman-Nya yang artinya,
“Bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus”.
Sedangkan ketundukan kepada hukum kehendak / iradah Allah Subhanahu wa ta’ala, merupakan kesaksian atas firman-Nya yang artinya,
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.”
Kemudian yang dimaksud dengan membebaskan amal dari symbol – symbol adalah membebaskan amal dari penghambaan selain Allah Subhanahu wa ta’ala. Apapun selain Allah hanyalah rupa yang tampak dari luarnya saja.
Orang yang beruntung adalah orang yang dapat mencapai ketiga derajat keikhlasan tersebut. Tentunya ini bukanlah hal yang mudah. Ikhlas harus diusahakan ketika pertama kali akan beramal, ketika sedang beramal dan saat berakhirnya suatu amalan. Bahkan, ingatlah selalu ; ”Orang yang masih merasakan ikhlas bukanlah orang yang punya keikhlasan sejati...”
*( Alwi Said )
Diketik ulang dari Majalah NIKAH edisi 2/I/2002
dengan sedikit penyesuaian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar