DI BAWAH LANGIT ILAHI


Mencoba merenungi makna hidup yang tengah dijalani, mencari jati diri yang masih bimbang ditelan peristiwa.

Menanti kapan semua akan berakhir, ahh belum kawan, perjuangan itu belum usai.
Masih menunggu air surga kembali menjamah kerongkonganku, hingga tak ada lagi lantunan syair selain menyebut asmamu.
Disini, di bawah langit sang pencipta,
aku,
dengan segala keterbatasan dan kelebihanku,
mencoba merubah apa yang menurutku tak pantas.
Semboyan itu : Amar Ma'ruf Nahi Munkar wa Fastabiqul Khairat akan terus menggema.
Tak lain dan tak bukan adalah untuk tuhanku,
berharap ridho atas semua perjuangan ini.
Disini, dibawah langit ilahi, aku sudah berjanji pada doa-doa itu,
akan kupersembahkan diriku bagi kebahagiaan dunia dan senyuman akhirat.
^_^

Senin, 20 Juni 2011

SEMALAM DI SURGA

            Bel pertama kembali berbunyi, pertanda pelajaran telah usai. Bebas merdeka bagi makhluk-makhluk bernama pelajar. Karena perut sudah tak tahan untuk minta di isi. Seperti biasa, Iqbal, Udin, Denis, dan Kiki akan segera mengambil posisi pertama di kantin milik Bu Ija. Kantin Serba Ada yang selalu riuh dengan gelak tawa para siswa, senda gurau para siswi.
            “Eh ntar malam mingguan ke rumah gue yah?.” Ucap Denis di tengah hiruk pikuk itu.
            “Ngapain Den, ah jangan bilang lu ngajak keliling nggak jelas lagi?.”
            “Eits jangan buruk sangka dulu Din, gue mau traktir kalian. Kebetulan nyokap bokap gue ke luar negeri, gue mau adain pesta khusus buat kita.” Sanggahnya dengan bangga. Ketiga makhluk itupun berpandangan, lama, hingga senyum mengembang dengan indahnya, pertanda TAWARAN TIDAK DITOLAK.
            “Setuju.” Sorak Udin disusul Iqbal.
            “Oke deh, ini baru mantap.” Sahut Udin pula.
            “Eh ntar dulu, Sesil nggak diajak kan?.” Tambah Udin lagi.
            “Hmm nggak ah, ribet, kalau nenek itu datang, gue nggak bisa ngapa-ngapain lagi. Yang ada jadi babunya deh.”
            “Hahaha itu mah derita lu.” Sindir Udin.
            “Bukannya Sesil beautiful angel mu Den, katanya cinta pertama, cinta mati pula.” Sindir Iqbal lagi.
            “Itu dulu, sekarang beda lah, bosan juga gue jalan ma dia melulu. Lama-lama sifat aslinya kelihatan juga.”
            “OMG Den, woii insyaf bro, Sesil itu cewek ke dua belas yang kau jadikan kekasih. Masih pingin cari juga. Busyet dah, mau lu apa sih sebenarnya.” Sanggah Kiki lantang.
            “Resiko orang ganteng memang kayak gitu men, haha.” Sahutnya bangga.
            Pakk, tepukan mereka bertiga disusul dengan kejaran Denis mengakhiri dialog ringan di kantin penuh cinta itu.

********

            Malam minggu pun tiba, angin malam semakin menjadi-jadi, seolah-olah mengerti bahwa ini adalah malamnya para PEMUDA, mengerti bahwa malam ini adalah waktunya berpesta pora, setelah seminggu bertaruh dengan penatnya lembaran ilmu. Seperti biasa, ke empat lelaki yang terkenal sebagai pengacau sekolah kembali beraksi malam ini. Jika tidak mengelilingi KOTA BOGOR, mereka akan begadang hingga larut untuk menonton, bermain game dan karaoke-an. Benar-benar gejolak para pemuda yang sangat labil. Belum mengerti apa itu arti MEMANFAATKAN KEHIDUPAN. Bercerita sedikit, awal mula keberadaan empat pemuda super gila itu. Entah bagaimana mulanya watak pemuda-pemuda itu dapat menyatu hanya dalam waktu satu minggu. Padahal jika dikaji secara teori, sulit untuk menyatukan antara otak udang, otak uang, otak dagang, dan otak wanita.
Udin si otak udang, yang kerjanya hanya ngekor kemana induknya pergi, disuruh ini mau, ditawarkan ini tentu tak akan pernah menolak. Moto hidup : hidup jangan dibuat susah. Lalu di posisi berikutnya ada Iqbal si otak uang, yang kerjanya hanya memikirkan duit, duit, dan duit. Moto hidup : setiap pekerjaan harus ada imbalan. Tak kalah hebohnya Kiki si otak dagang, yang kerjanya hanya membeli dan menawarkan sesuatu untuk dibeli maupun dijual, dan lebih banyak rugi daripada untung. Moto hidup : yang penting happy. Nah ini nih yang nggak kalah serunya, Denis si otak wanita, jangan tanya berapa korban wanita akibat virus kegantengannya itu, modal paling besar yang ia miliki. Moto hidup : lakukan apapun yang kamu bisa, yang kamu mau, semasih raga masih ada.
Padahal jika dikaji secara teori pula, latar belakang mereka tak akan pernah bisa bersatu, yang miskin sangatlah miskin, yang kaya sangatlah kaya, yang malang amatlah malang. Si udin, anak betawi asli, yang entah berapa puluh kali harus berbohong kepada babe dan nyak-nya hanya untuk kesenangan semata. Ibunya seorang guru SD, lalu ayahnya pengusaha pupuk. Si Denis anak konglomerat yang punya banyak tokoh, karena mereka adalah keturunan Tionghoa. Mama dan Papa yang terlalu sibuk dengan kerja, hingga si anak jadi brutal seperti itu. Menyusul pula, si Iqbal, satu-satunya lelaki dari tiga saudara perempuannya, hobinya traveling, karena memang ayahnya seorang pilot, dan ibunya yang tak tahu dimana keberadaanya, katanya sih selingkuh dengan mantan pacarnya dulu. Terakhir, si Kiki, anak tunggal yang ayahnya hingga saat ini belum kembali ke Indonesia, maklum ayahnya adalah seorang TKI. Ibunya sudah meninggal dunia.
Tragis memang, dari perbedaan itu ada satu kesamaan yang sangatlah ironi, yakni BROKEN HOME. Pantas saja jalan pikiran mereka bisa bersatu padu seperti itu. Malangnya!!!
*********

“Denis, Udin, Kiki, Iqbal, mau kalian apa sih, kalian itu masih SMA, masa depan kalian masih sangat panjang. Kalau kalian begini terus, kapan akan bisa maju. Tak kasihan kah kalian dengan orang tua kalian, buat mereka bangga. Hidup bukan untuk senang-senang semata nak.” Bu Eni, untuk kesekian kalinya harus menahan parau suaranya, letih berurusan dengan empat insan bandel itu. Kasus yang sama, Iqbal dihukum karena terlambat masuk kelas, lalu berbalik mengerjai si guru. Udin yang ketahuan tidur. Kiki yang ketahuan nyontek, dan Denis yang bolos karena belum mengerjakan PR. Padahal belum seminggu mereka dipisahkan kelasnya, eh ternyata berulah lagi. Ini peringatan kedua setelah belum genap sebulan mereka baru saja di skorsing. Sungguh ter ter lalu!!!
“Hahahaha….. emang gue pikirin.” Ucap mereka berbarengan, entah kapan hidayah itu akan menghampiri mereka. Hupf!!!
“Eits, bro tunggu dulu, tuh lihat.” Serentak Denis, Kiki, dan Iqbal menoleh ke arah telunjuk si Udin.
“Eh ntu siapa yah, lagaknya kayak uztadz saja.” Sanggah Iqbal.
“Murid baru kali, wah parah nih, di kelas gue lagi.” Tambah Denis menggerugutu.
“Sabar Bro, rezeki lu kali, biar cepat insyaf, haha.” Pakk, kepalanya yang sedikit botak itu akhirnya menjadi sasaran empuk.
“Sebelum lu insyaf, gue nggak bakal insyaf, hahaha.” Sindirnya bangga.
“Udah ah, ntar kalau kita insyaf, nggak ada yang ramain nih sekolahan.” Bantah Kiki ceplas ceplos.
“Wah iya tuh, betul juga. Eh eh gue punya ide bro…” Lirikan maut Udin kembali beraksi. Beberapa menit kemudian, kata itu terlontar berbarengan.
“KITA KERJAI DIA, hahahah.” Kalau sudah begini apa boleh buat kawan. Mereka akan beraksi kembali. Entah apa yang akan mereka lakukan. Lupa kuberitahu, Fiki, yah dia adalah seorang anak pindahan Semarang yang bapaknya bekerja sebagai Guru SMP, dan ibunya bekerja sebagai guru SD. Dia juga merupakan salah satu anak bandel yang menemukan hidayah menuruti kata hatinya. Di saat kenaikan kelas 2 SMA ia baru menyadari betapa khilafnya dia. Kelakuannya sama persis dengan Denis, hanya saja wanita dia belum pernah menggubrisnya, karena memang dia tak ingin membahasnya. Fiki tipikal lelaki dingin!.

***********
“Assalamu alaikum…..” Ucap murid baru itu pada Denis, ketua genk UDIK. Tumben sekali dia tak keluar, sendirian pula. Teman-temannya belum datang menjemput, kasihan juga wajah malasnya itu.
“Assalamu alaikum…” Ucap murid baru itu sekali lagi.
“Eh lu, ngangetin aja sih, ada apaan mangnya, kalau mau minta bantuan, jangan ke gue, ke orang lain aja, sana, sana pergi.” Jawabnya ketus.
“Afwan akhi, ana nggak bermaksud seperti itu. Ana cuma ingin mengajak antum sholat duha bareng.”
“Nama lu siapa sih sebenarnya, Fiki atau afwan ha. Apa pula itu akhi, ana, itu nama lu juga, heran deh!?” Fiki hanya tersenyum, mengerti bahwa teman yang ia hadapi bukan sembarangan. He
“Afwan, nama ana Fiki, afwan artinya maaf, ana itu saya, kalau antum adalah kamu. Itu namanya bahasa arab Den, bukankah antum sudah mempelajarinya?.”
“Ah kagak ngerti sama yang begitu-begituan, udah deh nggak usah sok alim disini, urusi aja urusan lu. Sok pake bahasa arab, lu itu ge tinggal di Indonesia bukan di Arab. Dasar!!” Bentakannya sangat menyakitkan, lalu pergi dan menghampiri ketiga temannya. Fiki hanya tersenyum, ia benar-benar mengerti posisinya sekarang. Sepertinya jalan dakwah segera dimulai.
“Kenapa lu Den, jelek banget tuh wajah.” Sindir Iqbal.
“Tanya tuh sama murid baru itu, sok jadi uztadz lagi disini. Belum tau dia siapa gue.”
“Lu kan anaknya pak Darmin, haha.” Sindir Kiki pula.
“Diam lu pada, mau juga kena imbasnya.”
“Iya, iya bos, maaf, he.” Jawab Kiki lagi.
“Kan kita dah rencana buat ngerjain dia, ya sudah sekarang aja.” Tambah Udin mantap.
“Males ah, gue kena tauziah lagi ntar. Capek kuping gue.”
“Yah jangan secara langsung lah bro, kita masukin rokok di dalam tasnya. Untuk berikutnya gue yang atur. Kebetulan tepat banget tuh ntar ada razia, tau sendiri kan. Hari jum’at gitu loh, hari razia mendadak. Basi juga sih tuh program, kalau mau dadakan, yah harinya jangan jum’at meulul lah.” Jawab Udin mantap. Udin, Udin, walau mukamu seperti orang begok, tapi otakmu bisa dijadikan acuan teroris berikutnya. Hehe!!
Tak menunggu lama, mereka menyusul Fiki ke musholla. Memantau keadaan untuk rencana selanjutnya.
“Eh eh dia sholat apaan gini hari, wah sesat tuh anak.” Tanya Udin pada teman-temannya.
“Begok lu, itu namanya sholat duha.” Jawab Iqbal.
“Kok lu tau, lu juga sesat donk?.”
“Yah begok lu kambuh lagi deh kayaknya. Gini-gini juga gue ngerti agama lah.”
“Lebih banyak nggak ngertinya kan. Haha.”
“Stop, berisik banget sih lu pada, udah cepetan sana pergi. Keburu orangnya balik nih.” Bentak Denis mantap, kalau sudah begini, jangan sekali-kali untuk menolak. Perintah segera dilaksanakan.

**************
“De………………..nis!!! Mau kamu apa ha, sudah berapa kali  kamu melanggar peraturan sekolah ini.
“Peraturan dibuat untuk dilanggar kan buk.”
“Diam kamu, KELUAR dari ruangan ini, dan besok bawa orang tuamu kemari.” Tanpa ba bi bu lagi, Denis langsung keluar. Lalu menghampiri ke tiga temannya dengan amarah yang menggebu-gebu.
“Eh begok, tolol, lu buta yah, ngapain lu masukin rokok itu ke dalam tas gue. Oh ternyata lho busuk juga yah. Mau adu nyali ma gue.” Udin tersentak kaget, kepalanya terasa sakit dipukuli terus menerus seperti itu.
“Woi woi bro, nyantai bro, tenang, Udin salah apa sih ma lu. Dia kan teman lu, tega banget sih.” Kiki berusaha melerai.
“Tanya tuh sama teman lu, makan tuh teman.”
“Eh Den jangan kira kamu nak bos, seenaknya gitu donk, gue bukan babu yang berhak lu bentak seperti itu. Oke, siapa juga yang mau berteman dengan kamu, gara-gara kamu gue jadi begini. Sesat lu, dasar sombong, tidak pernah mau menghargai orang lain!!.” Untuk pertama kalinya dalam sejarah Udin berani bersikap seperti itu. Denis terdiam, tak menyangka, Udin si otak udang itu telah berubah seketika. Udin berlalu pergi, disusul Kiki dan Iqbal. Tak ada lagi gelak tawa, sekarang alam pun bisu menyaksikan drama persahabatan itu. Denis sendiri, teman-teman seperjuangannya telah pergi, mereka benar-benar marah.
“Pergi aja lu semua, gue yakin lu bakal kembali. Siapa sih yang ngak tahu akal bulus kalian. Dasar gila lu semua.” Kepalan tinju dari Kiki yang menjawab pernyataan itu. Akankah permusuhan itu terus berlanjut, simak sajalah kawan!! Terlupa kuceritakan, Udin salah memasukan rokok itu. Maklum tas Denis dan Fiki sama, Udin tak memikirkan itu sebelumnya, benar-benar diluar dugaan.

**********
Dua hari berlalu, Kantin Serba ada milik bu Ija sepi ditinggal pergi para pengacau itu. Kiki hilang entah kemana, Iqbal pun dua hari ini tak masuk, lalu Udin hanya melongo bak orang kehilangan akal dibalik bangku taman itu. Wajahnya tak bergairah, hidup segan, matipun tak mau. Sedang Denis hanya duduk menyendiri di dalam kelas. Memikirkan nasibnya yang tak kunjung berubah, padahal skorsing tinggal beberapa hari lagi akan ditetapkan atas mereka ber-4. Tinggal menghitung hari!!
“Assalamu alaikum…afwan Den, ana mengganggu.”
“Ah lu lagi, mau lu apa sih, puas lu sekarang.”
“Astagfirullah, jangan pernah menyalahkan orang lain atas kesalahan yang kita lakukan sendiri Den, seharusnya antum mengoreksi diri dahulu sebelum mencap orang lain.”
“Ah basi lu, gue nggak butuh ceramah. Pergi sana.” Fiki hanya terdiam lalu menghampiri Deni secara perlahan, bukan malah pergi.
“Lu budek yah, pergi nggak. Ih…” Denis berlalu pergi, benar-benar muak ia sekarang. Fiki seperti biasa, hanya kembali tersenyum.

***************
Innalillah….. ada kecelakaan, Den menabrak seorang akhwat, anak SMA 2 Bogor juga. Malangnya!!
“Alhamdulillah, akhirnya antum siuman juga.” Ucap Fiki setelah Denis koma hingga berjam-jam. Denis melongo, menatap sekelilingnya, heran, Kiki, Iqbal, dan Udin mana.
“Lu lagi, yang lain mana?.”
“Sebentar lagi akan menyusul Den. Nih mau minum kah?.”
“Nggak usah sok baik deh, basi tau. Udah, gue bisa ambil sendiri.”
“Terserah antum mau bilang apa, yang penting ana sudah mencoba untuk seikhlas mungkin menjadi temanmu, bukan musuhmu.”
“Terserah lu, males gue berdebat.”
“Oh iya antum belum sholat ashar, sebelum magrib tiba sholatlah dulu.”
“Males gue, ntar habis sembuh aja, gepula gue nggak pernah sholat kok. Nggak lucu juga gue tiba-tiba sholat sekarang.”
“Astagfirullah…Den…”
“Stop deh, please, jangan ceramah disini, oke, gue mau istirahat.” Denis membalikkan tubuhnya. Itu pertanda tak ingin diganggu.
Tiba-tiba….
“Denis, anakku, kamu kemana sayang, bisa sampai kecelakaan seperti ini.” Suara parau si ibu membuat Denis kaget.
“Kapan balik ma, tumben perhatian.”
“Denis, yang sopan sama orang tua.” Bentak si ayah sembari menatap Fiki malu. Fiki tahu posisinya tak cocok berada disini sekarang, dia mohon untuk pamit pulang.
“Denis, sudahlah nak, mama tak ingin berdebat sekarang. Ini makanan kesukaanmu. Dimakan yah sayang.” Denis membalikkan badannya, pertanda dia kembali tak ingin diganggu. Semua hening, pikiran Denis tengah kacau balau sekarang. Benar-benar merasa bagai hidup sendiri di muka bumi ini.
Lalu tiba-tiba lamunannya terusik…
“Ibu orang tuanya Denis yah?.” Tanya seorang wanita tengah baya itu dengan nada yang amat sinis.
“Iya buk, ada yang bisa saya bantu.”
“Kasih tahu anak ibu yah, gara-gara kegilaan dia, anak saya Rini kena imbasnya.”
“Maksud ibu?.”
“Anak saya korban kecelekaan anak ibu.”
“Astagfirullah, maaf, maaf buk, baiklah saya akan menanggung semua biaya rumah sakit anak ibu.”
“Tidak usah, kami tak perlu itu, kami juga bisa membayarnya sendiri. Awas kalau terjadi apa-apa dengan anak saya, kami akan menuntut anak ibu.” Ancamnya dengan penuh amarah. Denis menutup kedua kupingnya, air matanya tak terasa telah meleleh, untuk pertama kalinya seorang Denis mengeluarkan air mata di masa remajanya sekarang. Pikirannya benar-benar kalut sekarang, teman-temannya tak ada yang mempedulikannya lagi. Tak ada lagi canda, tak ada lagi ketololan-ketololan itu. Hingga sebuah SMS muncul dalam  layar HP-nya. Dari Fiki : “Assalamu alaikum, barakallah, semoga Allah selalu menaungimu dengan hidayahnya. Afwan ana mengganggu, ana cuma minta kalau keberadan ana sangat mengusikmu. Ana tak ada maksud lain, ana cuma ingin antum merasakan nikmatnya Islam seperti yang alhamdulillah telah ana rasakan. Ana juga dulu sepertimu Den, malah lebih darimu. Ana hanya tak ingin kalian terlalu terlena dengan dosa-dosa itu. Sudah cukup Den!! Ana yakin, dalam lubuk hatimu masih ada secerca asa untuk meniti jalan perubahan. Jangan ikuti hawa nafsumu, itu kan membunuhmu. Semoga tak ada yang merasa dibebani, ana hanya ingin berteman denganmu, itu saja. Semoga cepat sembuh yah. Wassalam.” Denis semakin sedih, air matanya semakin tak tertahankan. Kini ia mengerti, sahabat bukan seperti yang ia pikirkan selama ini.

************
“Assalamu alaikum….” Untuk pertama kalinya Denis mengucapkan salam semanis itu.
“Maaf apakah anda yang bernama Rini?.” Gadis berkerudung ungu itu menoleh pelan, niatnya untuk menghirup udara segar terusik oleh kedatangan Denis.
“I…iya akhi. Afwan, apa ana pernah kenal antum sebelumnya?.”
“Hmm sa sa ya yang menabrakmu Rin. Maafkan saya!.”
“Astagfirullah, sebelum antum minta maaf, saya sudah memaafkannya.”
“Terima kasih yah.”
“Ma’a syukri, afwan ana mau istirahat dulu, assalamu alaikum.” Ucapnya sembari berlalu pergi.
“Tunggu, jangan pergi dulu. Kenalkan, nama saya Denis.”
“Oh, terima kasih atas infonya, afwan kita bukan muhrim.” Uluran tangan untuk berjabat dengan gadis itu percuma, karen Rini hanya mengangkat kedua tanggannya hingga dada, lalu membusungkannya sedikit. Bukan muhrim!! Denis menatap aneh, baru melihat hal itu untuk pertama kalinya. Dia hanya cengengesan, lalu pergi sembari menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tak terasa gatal.
“Cuit cuit, mangsa baru bro.” Langkah kaki Denis terhenti seketika, dia merasa sangat mengenal suara itu. Pelan dan hati-hati…
“Surprise…” Kiki, Udin, dan Iqbal mengangetkannya. Denis tak percaya, apakah itu mereka. Ini tak mungkin, Denis tahu betul siapa mereka, tak akan ada kata sapa dan maaf jika sudah bertengkar seperti ini, Denis mengenal mereka selama 2,5 tahun lamanya, tak mungkin, ini tak mungkin, pikirnya.
“Tak usah kaget begitulah bro, maaf yah Den, kemarin aku tak sengaja berkata seperti itu. Walau sebagian besarnya benar sih, hehe.” Ucapnya membuka dialog. Denis belum mampu berkata apa-apa.
“Iya Den, aku hanya ingin persahabatan kita tidak hanya sekedar bersenang-senang. Tapi juga hal lain diluar itu. Kita tahu masalah kita masing-masing seperti apa. Aku menyesal Den, selama ini kita terlalu egois. Masih sangat labil.” Tambah Kiki pula.
“Fiki kemarin ke rumah, lalu mengajak kita bertiga berbicara. Disitu kami baru sadar, betapa pentingnya kamu bagi kami. Walau sebenarnya banyak nyebelin juga sih, hehe.” Hening, Denis semakin membisu, tak ada suara.
“Den, Den, kamu kenapa, maaf, jangan marah melulu donk, ntar gantengmu hilang lho, hehe!.” Tiba-tiba Denis memeluk mereka bergantian, sangat erat, seperti tak ingin melepasnya. Tepukan ringan di bahu mereka masing-masing mengakhiri drama sinetron itu sekilas, hoho!!!
“Maafin gue juga, gue baru sadar sekarang, gue nggak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Aku rindu masa-masa gila kita dulu.”
“Ah nggak ah, nggak mau kayak dulu lagi, insyaf gue Den.” Sahut Udin cengegesan.
“Yah mau juga siapa, wee’, gue cuma pingin kita bersatu kayak dulu lagi. Gitu maksudnya.”
“Eh eh bro, cewek tadi siapa, ehm. Sopan banget ngomongnya, nggak seperti biasa. Gitu kek ma kite-kite nada bicaranya” Tanya Iqbal menggoda.
“Diem lu, mumpung gue ge baik nih. Hehe!! Hmm mm ah bukan siapa-siapa, namanya Rini, gue yang nabrak dia waktu itu.”
“Oh, mau ngincer lagi yah?.”
“Woi gue itu bukan playboy, gue cuma ingin mencari yang terbaik untuk hidup gue nantinya. Jangan macam-macam mah tuh gadis”
“Yah nggak dengan harus gonta ganti kan, tapi syukur lu nggak ngapa-ngapain tuh semua anak gadis orang. Mang kenapa ma dia?.”
“Yeee gini-gini gue juga masih punya pikiran lah. Dia sejenis Fiki bro!!”
“Iya, iya, yang pikirannya lebih dari segalanya. Maksud lho dia uztadzah gitu!!”
“Yah maybe, gila…. baru pertama kali gue ditolak mentah-mentah jabatan tangan ma seorang cewek. Gue malu tahu, he.”
“Hahahhahaa….derita lu” Sahut mereka serentak. Tawa itupun kembali bersenandung.
“Eits, si Fiki mana?.”
“Katanya mau sholat duha dulu. Wah dah baikan nih mah Uztadz nyebelin?.”
“Hehe, kalau nggak ada dia, gue nggal bakal ketemu kalian lagi tahu. Huu.”
“Sindiran yang bagus, hehe.” Ucap Udin.
“Heheh juga, eh kalian kemana aja baru nongol sekarang. Tega lu semua ninggalin gue sendiri?.”
“Gue jagain babe yang sakit Den.” Sahut Udin.
“Gue ikut bokap traveling, males gue ke sekolah melulu.”
“Kalau gue, biasa jagain tokoh lu, dah lama gue nggak kerja lagi. Biasa butuh duit, syukur aja gue masih keterima.” Sahut Kiki dengan kelakarnya yang khas itu.

*************
Pagi kembali menyapa embun, siul burung kembali berceloteh ria. Seakan-akan tengah gembira dengan semua perubahan SMA 2 BOGOR. Genk UDIK, nama itu telah dihapus peredarannya. Hanya ada Denis, Udin, Iqbal, dan Kiki, lalu ada partner baru, yakni Fiki. Jangan tanyakan apa dan bagaimana respon yang lainnya, semua benar-benar diluar dugaan. Untuk pertama kalinya, dalam sejarah SMA 2 BOGOR, mereka ber-4 sholat duha. Boro-boro sholat sunnah, yang wajib saja nggak pernah, bahkan dilakukan kalau disuruh saja. Denis menarik nafas panjang, tersenyum lirih ketika melihat Rini yang ternyata adalah adik kelasnya. Deg, deg, deg, ada hawa yang sangat beda dari kedua pelupuk mata seorang Denis, ini bukan sekedar jatuh cinta. Ada keinginan lain yang sangat mendalam yang ada pada dirinya. Entah apa itu?!.
Malamnya secara khusus selama beberapa minggu, Denis mengajak Fiki dan ketiga temannya untuk menginap di rumahnya. Inginkah kau tahu kawan, yakni belajar bareng, dan sholat tahajjud bareng. Tak akan terbesit sedikitpun bahwa seorang Denis akan melakukan hal itu. Ketiga temannya menatap aneh, bingung, plus bimbang atas perubahan itu. Inikah hidayah yang tak terduga itu? Mungkin saja, walau sebenarnya tak ada yang tak mungkin jikalau ada niat dan tentu saja usaha. Tahajud pertama di malam yang hening, empat sejoli bandel itu berdoa khusyu. Air mata penyesalan tak terasa menetes. Hembusan angin malam membuat ubun-ubun seperti dijamah sesuatu yang berbeda. Jiwa dan raga itu tertunduk lesu dihadapan sang pencipta. SEMALAM, serasa bagai DI SURGA, begitu nyaman, sejuk,  menentramkan hati dan pikiran, apalagi jiwa. Berharap malam-malam berikutnya seperti DI SURGA lagi. Fiki dengan sabar mengajari mereka satu persatu-persatu membaca alqur’an, sudah lama hal ini tak mereka lakukan. Geli sekali, seperti anak-anak yang baru belajar mengaji.
Seminggu usai, banyak hal yang mereka dapat dari seorang Fiki, mulai dari bimbingan bahasa arab, inggris, hitung-hitungan, dan tentu saja masalah agama, serius sekali mereka menyaksikannya. Terlupa, UAS pun dalam beberapa minggu ke depan akan dimulai. Denis memperpanjang kontrak kerja dengan mereka, serasa bos beneran tuh anak, he!.
“Fik, kau kenal Rini tak?.” Ucapnya seusai sholat duha.
“Rini, oh iya kenal, dia adik kelasku waktu SMP, ada apa akhi?.”
“Hehe nggak juga sih, cuma ingin tahu aja.” Jawabnya gugup, Fiki tentu tak bisa dibohongi dalam masalah ini.
“Sudahlah akhi, tak usah berbohong, ana tahu maksud antum. Antum menyukainya kan. Ingat, semoga cintamu karena Allah, bukan karena mengikuti hawa nafsu.”
“He i iya a akh, entah mengapa ada sesuatu yang berbeda yang kurasakan saat awal pertama bertemu dengannya. Tidak seperti gadi-gadis lain yang ku kenal selama ini. Cara dia berpakaian, bertutur, gerak-geriknya, subhanallah, memang benar katamu wanita sholehah begitu menyejukkan hati orang yang memandangnya. Semoga lelaki baik yang beruntung itu adalah aku a a akh akhi.” Susah sekali ia menyebutkan kata akhi, lidahnya kelu, maklum, merubah cara bicara dan kebiasaan tak semudah merubah bentuk rambut. Hehe!!
“Amin ya rabb, nanti kalau sudah tiba saatnya, antum langsung lamar saja. He, gimana siap nggak?.”
“Wah nggak pacaran dulu gitu, mana tahu tabiatnya gimana.”
“Lupa yah yang ana katakan tadi malam. Ehm.”
“Eh aduh, eh astagfirullah, lupa akh, dalam islam kan tak mengenal itu, yang ada itu TA’ARUF. Wah sepertinya harus banyak baca buku islami nih, biar iman nggak turun lagi. Jangan lupa tegur ane yah kalau ada tanda-tanda syaitahan muncul, hehe.” Jawabnya cengegesan.
“Insya allaah ana usahakan. Oh yah nanti kita belajar apa lagi nih untuk persiapan UAS?.”
“Terserah an an tum saja lah, yang penting pas UAS nanti kita nggak nyontek, hehe.”
“Wah ada niat mau nyontek yah?.”

Tidak ada komentar: